Oleh: Eep Saefulloh Fatah
SEJUMLAH teman bertanya hari-hari ini tentang sesuatu yang kurang lebih sama: Gimana update perkembangan terakhir?
Ada baiknya saya buat jawaban serius, bukan jawaban selintasan. Dan ini sekaligus melengkapi jawaban-jawaban saya — berbasis data-data Survei PolMark Indonesia — yang saya sampaikan di berbagai podcast, forum diskusi, mimbar bebas dan pamer cakap (talkshow) di TV beberapa waktu terakhir.
Jika pembicaraan semata-mata berbasis survei, maka perlu saya tegaskan bahwa saya tak punya data lebih baru selain Survei Nasional 14-25 Januari itu.
Saya percaya, masih terbuka kemungkinan untuk Pilpres dua putaran. Sekalipun, usaha untuk membuat Pilpres 2024 berjalan satu putaran, begitu massif, tak bermoral dan brutal.
Salah satu jalannya: Pengecilan signifikan Golput karena bangkit-memilihnya kelas menengah (dan kelas bawah-kritis) yang selama ini Golput. Di 2024 ini mereka memilih sebagai bentuk perlawanan. Merekalah yang diam-diam menjadi proponen Gerakan 04. Inilah silent voters — pemilih senyap — 2024.
Dalam Pilpres 2019, dari 192.770.611 pemilih dalam total DPT, suara sah Pilpres adalah 154.257.601 (80,02%).
Saya berharap, ada pembesaran pemilih sebanyak sekitar 7% dalam Pilpres kali ini, menjadi sekitar 87%.
DPT 2024 ini adalah 204.807.222 pemilih. Jika suara sah (partisipasi pemilih) tetap sekitar 80%, maka jumlahnya sekitar 163,8 juta pemilih.
Jika benar ada pembesaran partisipasi sekitar 7%, maka jumlahnya adalah sekitar 14,3 juta. Mereka inilah game changer, In syā Allāh. Jumlah suara sah menjadi sekitar 178 juta.
Silent voters seperti merekalah yang membuat Hillary Clinton dikalahkan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden 2016 di AS. Semua lembaga survei pun salah dengan menyebut Hillary sebagai calon pemenang. Hanya survei LA Times yang membuat proyeksi yang tepat, bahwa Hillary lah yang kalah.
Apa pengaruh pembesaran partisipasi pemilih itu terhadap hasil Pilpres 2024? Mari kita gunakan saja — untuk mensimplifikasi perhitungan kita — angka yang banyak disebut oleh “lembaga survei para proponen paslon tertentu”. Berbasis simpifikasi ini, Katakanlah paslon yang mereka dukunh berhasil meraih 52% suara. Maka, berbasis perhitungan partisipasi 80%, jumlah pemilihnya adalah sekitar di sekitar 85 juta pemilih. (Menimbang massif dan brutalnya kerja pemenangan paslon tertentu, angka 85 juta itu bisa saja dicapai).
Maka, berbasis pembesaran partisipasi (dalam Pilpres 2024 ini) menjadi 87%, persentase pemilih paslon yang saya sebut di atas pun terkoreksi menjadi 47,8%. Maka jika proyeksi ini benar, Pilpres pun harus berlangsung dalam dua putaran.
Mengapa saya baru menyatakan ini sekarang, di saat kita sudah kurang dari 24 jam menuju pembukaan Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari Rabu, 14 Februari 2024?
Sebab, bagi saya ini bukan permainan. Ini perjuangan. Saya tak menyampaikan hal-hal yang saya sampaikan di atas sebelum ini sebagai bagian dari perjuangan. Mengungkapkannya jauh-jauh hari sebelum Hari Pencoblosan sama dengan memberi kesempatan kepada “mereka yang dilawan oleh silent voters” untuk “berbuat sesuatu” soal ini.
Teman-teman, itulah jawaban saya atas pertanyaan yang kutip di awal tulisan ini. Sekali lagi, ini melengkapi penjelasan saya belakangan ini dalam berbagai kesempatan. Penjelasan-penjelasan ini tak saya ulang lagi di sini supaya tak makin memperpanjang tulisan yang sudah cukup panjang ini.
Mari jadikan 14 Februari sebagai Hari Perlawanan Warga Negara. Mari melawan dengan perkasa (aziz), bijaksana (hakim) dan penuh kasih (rahman).
Tambahan Penting: Mulai kemarin beredar berita dari situs koranrepublikadotid berisi hasil survei terbaru PolMark Indonesia. Saya tegaskan di sini bahwa berita itu sepenuhnya hoax. Mohon diabaikan sepenuhnya.