Jakarta. Lengkap sudah. Kehadiran Gibran Rakabuming Raka di bursa Pilpres 2024 melalui pelanggaran etika yang tidak dapat dibantah.
Setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan perubahan syarat capres/cawapres yang diputuskan MK bermasalah secara etika, giliran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberikan peringatan keras kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena menerima pencalonan yang cacat etika itu.
Menurut pakar kebijakan publik, Yanuar Nugroho, ini sudah cukup menjadi alasan bagi Gibran untuk mengundurkan diri dari arena Pilpres 2024.
Yanuar memahami bahwa keputusan DKPP seperti keputusan MKMK pun tidak dapat membatalkan proses pencalonan Gibran yang “agak laen” itu.
Namun, menurut Yanuar keputusan Gibran mengundurkan diri akan lebih terhormat dan bijaksana di tengah polemik yang terjadi.
“Enggak apa-apa menurut hukum. Tapi MKMK dan DKPP mengatakan ini melanggar etik. Maka saya setuju, if I were Gibran, saya mengatakan: saya mundur," kata Yanuar ketika berbicara di Media Center Ganjar Mahfud, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (5/2).
Setelah mundur, Gibran dapat come back di tahun 2029.
Bila tidak mundur, maka persoalan etika ini akan terus membayangi Gibran apapun yang terjadi.
"Sekarang kalau dia menang, enggak ada legitimasi itu. Orang-orang yang bicara etik akan berat (menerima)," kata Yanuar lagi.
Pandangan yang sedikit berbeda disampaikan pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti. Dia menyayangkan DKPP yang tidak membatalkan pencalonan Gibran demi hukum. Selain itu dia pun menilai Gibran tidak memiliki etika politik dan moral.
“Sayangnya lagi, yang menjadi cawapres itu kita tahu memang tidak memiliki etika politik dan moral politik. Kalau Anda melanggar etika politik, dan tidak memiliki moral politik, bagaimana anda bisa memiliki legitimasi?" demikian Ikrar.