Jakarta. Sejauh ini Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Di Menurut Economist Intelligent Unit (EIU) pada tahun 2022 dengan skor 6,71 Indonesia berada di posisi ke-10 di ASEAN dan ke-54 di dunia.
Demikian dikatakan Dewan Pembina PERLUDEM, Titi Anggraini, ketika berbicara dalam seminar bertema “Peluang dan Tantangan Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia” yang diselenggarakan LP3ES dan Universitas Paramadina, Selasa (16/1).
Pembicara lain dalam seminar itu adalah dosen PTIK Sidratahta Mukhtar dan aktivis yang juga mantan jurnalis Hamid Basyaib. Adapun sambutan disampaikan Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J Rachbini.
Demokrasi Indonesia paling lemah di dua variabel, yakni Political Culture dan Civil Lyberties.
“Ironisnya, Political Culture kita ada di score 4,38 dan teryata dikontribusi oleh praktik politik yang tidak bersih, tidak anti korupsi, amat pragmatis dan transaksional,” ujar Titi.
Dia juga menyitir studi Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada 3 sampai 5 Desember tahun lalu yang mengatakan bahwa problem kultur politik yang buruk dan soal etika kehidupan politik dan bernegara Indonesia mayoritas disumbang oleh para elit politisi.
Contoh kecil dalam soal pemilu, menurut responden pihak yang paling potensial melakukan kecurangan adalah partai politik, lalu tim sukses capres, diikuti penyelenggara pemilu, calon presiden dan wakil presiden, pemerintah pusat, Jokowi, serta Polri dan TNI.
“Kecurangan yang muncul adalah pertanda dari moralitas etik yang rendah,” sebutnya.
Titi menambahkan ada enam sebab mengapa problem etik demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi cacat. Pertama, ada barrier to entry ke arena kompetisi yang adil dan setara. Kedua, melemahnya check and balances yang mengakibatkan tendensi mayoritas, di mana parlemen hanya jadi tukang stempel bagi eksekutif.
Ketiga, kooptasi partisan pada insititusi peradilan dan lembaga-lembaga negara. Keempat, ketiadaan demokrasi internal partai. Kelima, praktik politik transaksional di pemilu berupa suap, vote buying, candidacy buying.
Penyebab keenam adalah kelemahan etika politik yang mengakibatkan hyper regulasi yang melahirkan “autocratic legalism” di mana aturan dibuat untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.
“Adanya politisasi yudisial dalam dunia peradilan kita terbaca jelas dalam trajectory putusan MKMK yang penuh problem etika ketika mengabulkan gugatan syarat umur pada salah satu cawapres dalam Pemilu 2024,” kata Titi lagi menambahkan.
Pada bagian akhir dia mengatakan, agenda reformasi partai politik harus benar-benar dilaksanakan untuk meletakkan kedaulatan berada di tangan anggota, bukan dibajak oleh elit atau sekelompok orang yang berada di struktur parpol. Hulu dari persoalan ini ada di demokasi internal partai.
Kedua, harus dilakukan juga penghapusan barrier to entry, misalnya. penghapusan ambang batas calon presiden. Serta ketiga, memfungsionalisasi kaderisasi yang demokratis di internal partai, sehingga rekrut politik tidak menjadi karpet merah bagi petualang politik.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah pemberlakuan masa jeda politisi untuk mengisi jabatan yudisial guna menghindari politisi yudisial dan menjaga independensi peradilan.
“Juga perlu dilakukan fungsionalisasi parpol melalui model keserentakan pemilu yang efektif,” demikian Titi.