Jakarta. Diskursus mengenai etika menjadi sangat penting. Dalam konteks politik di tanah air hari ini, etika menjadi yang terpenting untuk dibicarakan. Sebuah bangsa yang tidak mempunyai landasan etika hanya menjadi satu gerombolan. Padahal gerombolan pun punya “etika” sendiri.
Demikian dikatakan aktivis dan mantan jurnalis, Hamid Basyaib, dalam seminar bertema “Peluang dan Tantangan Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia” yang diselenggarakan LP3ES dan Universitas Paramadina, Selasa (16/1).
Hamid membandingkan bangsa Yahudi Israel di dunia yang saat ini mengecam tindakan brutal rezim zionisme Israel yang menyerang Gaza secara membabi buta.
Kaum Yahudi dunia menjadi begitu perduli karena takut bila pemerintahan Benjamin Netanyahu dibiarkan begitu keji dan bengis maka landasan etika negara Yahudi akan hancur.
“Banguna etika negara Israel pelan-pelan akan tergerogoti habis sehingga tidak dipandang tidak lagi punya hak moral,” ujar Hamid.
Dia lalu menambahkan, contoh masalah etika yang paling dekat saat ini adalah soal pengesahan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapers yang cacat, namun dianggap sah.
“Nanti pendukungnya tidak lagi punya hak moral untuk mengatakan hal-hal ideal tentang Indonesia di masa depan,” ujarnya lagi.
Dia menambahkan wacana generasi emas Indonesia pun jadi berantakan dan tidak bemakna lagi karena telah dicemari tindakan anti hukum dan anti etika yang benar-benar telanjang.
Hamid juga mengimbau barisan panjang rakyat Indonesia yang bukan pendukung paslon cacat moral harus ikut bersuara, karena negara ini bukan milik kaum yang tidak menghormati hukum dan cacat etika, khususnya Joko Widodo dan keluarga serta kroninya.
Indonesia, tambahnya, adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai hak moral berbicara kebenaran dan etika hukum.
Indonesia masih memiliki peluang untuk menegakkan etika dan hukum dengan mengambil pelajaran dari para founding father dulu yang menjalankan proses politik bernegara dengan penuh etika dan ketaatan terhadap hukum, meski tidak semua.
“Masalahnya, apakah para pelaku politik terkini di Indonesia mengerti sejarah etika itu. Misalnya biografi bung Hatta, Syahrir, Soekarno dan tokoh lain. Di mana kehidupan perpolitikannya amat jauh dari kepentingan pribadi dan keluarganya,” ujar Hamid.
Dia mengatakan dirinya kecewa karenakeluhuran perilaku politik dan sosial para founding father di masa lalu seakan tidak ada artinya sama sekali olehperilaku pejabat sekarang.
“Meski bandingannya hanya selevel anak bupati/walikota di daerah yang dengan mudah dapat mengangkangi hukum dan nir etika,” demikian Hamid.