Jakarta. Sejumlah akademisi berbicara dalam diskusi publik bertema “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri” di Universitas Paramadina, Kamis (11/1).
Diskusi yang digelar secara daring dan dimoderatori Muhammad Fajar Anandi membahas sejumlah isu, dari total diplomacy sampai food security.
Mantan Ketua Komisi I DPR RI, Dr. Theo L. Sambuaga, misalnya mengarisbawahi visi pertahanan politik luar negeri Indonesia yang tercantum dalam tujuan nasional di dalam alinea keempat UUD 1945 yang berbunyi “Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.”
Dia mengatakan, untuk mencapai tujuan kemerdekaan itu, Indonesia memiliki dua jalur dalam diplomasi baik secara bilateral dan multilateral.
“Diplomasi pada dasarnya dilakukan dalam rangka membina hubungan baik dalam hal politik, ekonomi, sosial dan budaya,” kata Theo.
Theo mengatakan, total diplomacy dilakukan secara bilateral dengan cara membangun diplomasi ekonomi, sosial budaya, diplomasi preventif dan diplomasi pertahanan. Sementara dalam konteks multilateral, diplomasi lebih berfokus pada diplomasi preventif, diplomasi ekonomi dan budaya.
Theo juga menyoroti salah satu kelemahan ASEAN di mana setiap Kkeputusan harus diambil berdasarkan konsensus. Misalnya dalam kasus pengungsi Rohingya. Indonesia dan beberapa negara ASEAN lain menerima pengungsi Rohongya. Sementara beberapa negara lainnya menolak kehadiran mereka. Akhirnya, karena ASEAN harus mengambil keputusan secara konsesus, sampai kita tidak ada kebijakan tegas ASEAN terhadap pengungsi Rohingya.
Begitu juga dengan sengketa dan saling klaim sejumlah negara anggota ASEAN di Laut China Selatan (LCS).
“Akhirnya China malah mengklaim sebagian ZEE Indonesia sebagai wilayahnya yang ditentang Indonesia dan juga PBB. Karena masalah saling klaim antar negara, keputusan soal LCS tidak bisa diambil kesepakatan bersama” lanjut Theo.
Di tempat yang sama, dosen Prodi HI Universitas Paramadina, Peni Hanggarini, mengapresiasi pencapaian diplomasi Indonesia sepuluh tahun terakhir yang berhasil membawa pesan ekonomi, perlindungan WNI, dan menciptakan stabilitas di kawasan dan dunia. Dia juga memuji peningkatan infrastruktur diplomasi.
Peni mengatakan, dalam sepuluh bulan mendatang hendaknya grand strategi diplomasi ekonomi lebh ditekankan.
“Tinjauan terhadap visi misi para capres perihal kebijakan luar negeri dan kritik para capres sebenarnya telah disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi bahwa diplomasi Indonesia tidaklah transaksional atau inward looking dan Indonesia telah berperan penting di tingkat multilateral,” uajr Peni.
“Dari penyampaian visi misi para capres terdapat persamaan pada bagian prinsip bebas aktif dan kepentingan nasional sebagai dasar pelaksanaan kebijakan luar negeri dan diplomasi,” lanjutnya.
“Adapun pandangan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di masa mendatang bahwa ada tantangan dari lingkungan eksternal seperti, dampak rivalitas di Indo-Pasifik, dampak potensi perang berlarut, tantangan terhadap sentralitas ASEAN dan p kerjasama organisasi antar kawasan,” tambahnya.
Dosen Prodi HI Universitas Paramadina lainnya, Asriana Issa Sofia, menambahkan, isu globalisasi, soft power, nation branding, diplomasi publik merupakan masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini.
“Soft power sendiri adalah sebuah instrument agar sebuah negara dapat memanage proses internasionalnya dengan menggunakan instrumen berbeda, yaitu approach diplomasi, international exchange, culture, culinary, dan sports,” kata Asriana.
“Tidak kalah penting melihat bagaimana negara mengkomunikasikan dengan baik perihal competency dan contribution di dalamnya. Hal-hal itulah yang harus dibuat untuk meningkatkan citra negara di tingkat global,” tegas Asriana.
Digital Indonesia
Adapun Dr. M. Riza Widyarsa yang juga merupakan dosen Prodi HI Universitas Paramadina menggarisbawahi tantangan digital yang dihadapi Indonesia. Di satu sisi Indonesia memiliki pengguna internet aktif dalam jumlah yang begitu besar. Di sisi lain serangan di dunia digital pun dengan sendirinya cukup tinggi.
“Berdasarkan data BSSN, di tahun 2022 ada sekitar 976 juta serangan hacker di Indonesia, dan 14.75 persen kebocoran data secara sangat signifikan. Beberapa paslon juga membicarakan serangan cyber yang terjadi di Indonesia,” kata Riza.
Riza menilai persoalan ini memiliki kaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Katanya, Indonesia membutuhkan SDM yang memiliki kemampuan untuk membuat sistem pencegahan keamanan siber untuk melindungi data pribadi yang sensitif.
Selain permasalahan siber, Indonesia juga menghadapi permasalahan keamanan pangan.
Dia mengatakan, berdasarkan data pada tahun 2022 Indonesia menduduki peringkat ke-63 dalam Global Food Security Indek .
“Oleh sebab itu, Indonesia sejak jaman Soeharto, SBY dan Jokowi membuat lumbung pangan atau food estate,” tambahnya.
Namun program ketahanan pangan itu berdampak besar terhadap lingkungan terutama di Kalimantan karena membabat hutan lindung sehingga membuat ekosistem menjadi rusak. Selain itu pembangunan food estate juga bersinggungan dengan isu tanah adat. Belum lagi jenis tanaman yang akan ditanam juga bisa berdampak pada kerusakan alam.
“Pemerintah seharusnya dapat melibatkan antropolog dan sosiolog pertanian,” demikian Riza.