Jakarta. Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai terlambat dalam menangani kasus etik Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri. Karena keterlambatan itu, putusan Dewas KPK yang dibacakan hari Rabu kemarin (27/12) menjadi tidak relevan. Proses hukum terhadap Firli sudah berjalan, sementara di sisi lain permohonan berhenti yang diajukan Firli Bahuri kepada Presiden juga sedang dakam proses.
Begitu antara lain disampaikan pakar hukum tata negara dan filsafat hukum Yusril Ihza Mahendra dalam keterangannga dari Tokyo, Jepang, yang diterima beberapa saat lalu, Kamis (29/12).
“Fakta menunjukkan Firli telah diproses hukum oleh Polda Metro Jaya dan dinyatakan sebagai tersangka tipikor menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo,” tulis Yusril.
Sementata, sebagai konsekuensi penetapan tersangka, sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU 30/2002 tentang KPK, Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya.
“Dalam perkembangan selanjutnya, atas pertimbangan pribadi termasuk menjaga kewibawaan lembaga KPK, Firli telah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden. Surat pengunduran diri itu kini sedang diproses oleh Sekretariat Negara,” tulis mantan Menteri Sekretaris Negara itu lagi.
Di tengah proses hukum dan pengunduran diri Firli itu, Majelis Etik Dewas KPK yang dipimpin Tumpak H Panggabean bersidang untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap Firli berdasarkan peraturan-peraturan etik yang ditetapkan oleh Dewas sendiri.
Dalam putusannya, Dewas KPK menyatakan, Firli terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Sanksinyapun sanksi berat , yakni memerintahkan Firli mengundurkan diri dari jabatannya. Itulah sanksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a atau Pasal 4 ayat (1) huruf j dan Pasal 8 ayat e Peraturan Dewas KPK 3/2021.
Yusril mengatakan, dari ketentuan-ketentuan di atas, tidak ada kewenangan Majelis Etik Dewas KPK untuk “memecat” Firli sebagaimana diberitakan beberapa media.
Yusril juga mengatakan, Presiden bukanlah eksekutor Putusan Dewas sebagaimana dikesankan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean kepada pers.
“Presiden hanya menindaklanjuti permintaan pengunduran diri Firli sebagai eksekusi atas putusan Majelis Etik Dewas KPK,” sambungnya.
Telah Diberhentikan Sementara
Masalahnya sekarang adalah, Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya atas perintah undang-undang. Firli juga telah menyampaikan permohonan pegunduran diri secara pribadi kepada Presiden.
Pilihan untuk mengundurkan diri atau tidak dari suatu jabatan adalah pilihan bebas yang dimiliki setiap orang dan merupakan hak konstitusional (constitutional right) yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 45 kepada setiap orang, yang tidak dapat dihalang-halangi oleh siapapun, kecuali undang-undang membatasinya. Lantas, dimanakah posisi Peraturan Kode Etik Dewas KPK jika dilihat dari sudut filsafat hukum dan teori ilmu hukum?
Peraturan Kode Etik yang dibuat oleh Dewas KPK itu adalah sebuah “code of conduct” yakni norma etik berkaitan dengan pedoman prilaku seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu. Norma prilaku seperti itu lahir atas derivasi yang diberikan oleh undang-udang, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 37B ayat (1) huruf c UU 30/2002 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU 19/2019 tengang KPK. Dengan demikian, kedudukan kode etik dan pedoman prilaku yang diatur dalam Peraturan Kode Etik Dewas KPK itu tidaklah lebih tinggi kedudukannya dari UU apalagi UUD.
Kedudukan kode etik itu tidak sama dengan kedudukan “norma etik” sebagai norma dasar dalam prilaku manusia yang keberadaannya berada di atas norma hukum. Norma etik “tidak dilahirkan oleh pemikiran manusia” seperti dikatakan Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18, melainkan keberadaanya inhearent dengan kesadaran hati nurani (conscience) manusia, sehingga keberadaan norma etik itu menurut Kant adalah “du sollst und du sollst nicht”, yakni sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya.
Sementara norma Kode Etik Dewas KPK, Kode Etik Advokat, keberadaannya justru karena diperintahkan oleh undang-undang. Karena itu, norma dalam kode etik Dewas KPK itu tidak mungkin menghentikan langkah Presiden memberhentikan sementara Firli dari jabatannya yang didasarkan pada norma undang-undang. Begitu pula, norma Kode itu tidak dapat mengabaikan hak Firli untuk dengan bebas menyampaikan penunduran diri kepada Presiden, mengingat hak itu dijamin oleh UUD 1945.
Dia menambahkan, sesuatu yang sangat penting untuk disadari oleh Majelis Etik Dewas KPK ialah, dilihat dari sudut teori ilmu hukum, pelanggaran norma hukum akan secara otomatis melanggar norma kode etik.
“Namun suatu pelanggaran norma kode etik belum tentu merupakan pelanggaran norma hukum. Bahwa Firli sebagai Ketua KPK bertemu dengan Syahrul Yasin Limpo yang sedang diperiksa KPK bisa merupakan pelanggaran norma kode etik, tetapi belum tentu merupakan sebuah pelanggaran norma hukum. Terjadi pelanggaran hukum atau tidak, tergantung dari apa pembicaraan dan/atau kesepakatan dari kedua pihak yang bertemu itu,” katanya.