PERKARA dugaan tindak pidana pemerasan dan gratifikasi yang ditujukan terhadap Firli Bahuri sebagai Ketua/Anggota KPK berakhir dengan penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka oleh Dirkrimsus Polda Metro Jaya.
Konon penetapan tersangka dilakukan bersamaan (pada tanggal yang sama) yaitu tanggal 9 Oktober 2023 dengan laporan pidana dugaan pemerasan sehingga menimbulkan tanda tanya dari aspek prosedural sebagaimana telah ditetapkan di dalam UU 8/1981 tentang KUHAP khusus ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan (Pasal 1 angka 2 dan angka 5); dalam hal ini terkait jeda waktu antara proses penyelidikan dan penetapan tersangka yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sedangkan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sejalan dengan pengertian/definisi kedua tahapan proses pemeriksaan pra-penuntutan tersebut jelas bahwa proses penyelidikan hanya menemukan ada/tidak adanya suatu peristiwa pidana sedangkan proses penyidikan mencari dan menemukan bukti untuk menetapkan siapa yang terbukti melakukan tindak pidananya atau menemukan tersangkanya.
Ada perbedaan jeda waktu yang cukup untuk tujuan tersebut. Namun demikian diakui bahwa ketentuan KUHAP mengenai proses penyelidikan dan penyidikan tidak dibatasi oleh tenggat waktu tertentu sehingga hak subjektif Penyidik untuk memeriksa dan bahkan menetapkan seseorang menjadi tersangka bahkan melakukan upaya paksa sangat luas sehinga rentan terhadap penyelahgunaan wewenang penyidik.
KUHAP pun belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi siapa saja yang dijadikan objek (bukan subjek) pemeriksaan.
Bertolak dari pemikiran tersebut pembentuk UU KUHAP telah memasukkan ketentuan mengenai praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP. Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77).
Lingkup objek praperadilan kemudian telah diperluas dalam Putusan MKRI Nomor 21/PUU- XX/2014, meliputi juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan; dengan pertimbangan Majelis Hakim MKRI bahwa keenam objek praperadilan adalah merupakan tindakan yang rentan terhadap perlindungan hak asasi tersangka yang merupakan kewajiban Lembaga peradilan.
Perluasan objek praperadilan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan. Perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum. Norma ini harus dimaknai bahwa, pertama bangsa Indonesia memiliki peradaban maju dan menganut sila perikemanusiaan sebagai salah satu sila filosofi bangsa dan Negara Hukum; dan kedua, hak setiap orang untuk diakui dan dijamin oleh negara harus tidak bersifat diskriminatif dan ditindas dengan tindakan aparatur hukum yang eksesif sehingga mendegradasi harkat dan martabat seseorang termasuk seseorang yang ditetapk tersangka/terdakwa.
Kelemahan ketentuan penyelidikan menurut KUHAP tidak ada batas waktu kapan seharusnya proses penyelidikan berhenti; dalam praktik lazimnya ditentukan berdasarkan dugaan semata-mata sepanjang telah terdapat dua bukti permulaan yang cukup, terlepas dari masalah harkat dan martabat seorang tersangka/terdakwa, dan opini publik dalam masyarakat kita tidak lagi mempertimbangkan asas praduga tak bersalah,(presumption of innocence) sebaliknya asas praduga bersalah (presumption of guilt).
Pimpinan KPK
Syarat calon pimpinan KPK berdasarkan UU 3/2002 tentang KPK, selanjutnya di dalam UU (Perubahan) 19/2019 tentang KPK telah mengatur syarat-syarat calon komisioner KPK antara lain selain batas usia juga syarat perilaku dan integritas, profesionalisme dan akuntabilitas melalui suatu seleksi yang dilaksanakan oleh panitia seleksi. Kini komisioner KPK telah berganti pimpinan sampai lima kali,. Terakhir di bawah ketua Firli Bahuri dan kawan-kawan.
Sejatinya harapan dan idealisme pembentuk UU KPK adalah, KPK dipimpin oleh komisioner yang mampu bertahan dari segala godaan dan suap juga terbebas dari perilaku tidak terpuji seperti pemerasan dll. Akan tetapi bagaimanapun komisioner KPK adalah seorang sosok manusia yang tidak steril sama sekali dari kesalahan di samping kelebihannya sehingga dalam kurun waktu dua masa kepemimpinan KPK dan terakhir saat ini telah terjadi dua kali masalah di mana pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka dan terjadi dua kali pergantian pimpinan KPK.
Dalam hal pergantian ini telah digunakan landasan UU KPK tahun 2002 dan perubahannya pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa jika pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka maka diberhentikan sementara dari jabatan pimpinan KPK baik sebagai ketua maupun sebagai anggota.
Konsekuensi logis dari pemberhentian sementara maka tersangka pimpinan KPK yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenang lagi selaku pimpinan maupun anggota komisioner KPK sehingga dipastikan terjadi kekosongan pimpinan di mana pimpinan KPK tersisa hanya 4 (empat) orang dan tentunya bertentangan dengan jumlah komisioner KPK yang diwajibkan 5 (lima) orang berdasarkan UU KPK 2002 dan perubahannya tahun 2019.
Konsekuensi hukum dari kekosongan pimpinan KPK maka kewajiban Presiden untuk mengangkat dan menunjuk seseorang yang memenuhi syarat sebagai pengganti dan pengisi kekosongan pimpinan KPK tersebut.
Untuk sampai pada penunjukkan dan pengangkatan pimpinan KPK pengganti maka UU KPK Tahun 2002 dan perubahannya 2019 mewajibkan dilaksanakan pemilihan dari calon-calon pimpinan KPK terdahulu yang gagal menjadi pimpinan KPK dan selanjutnya diusulkan ke Komisi III DPR RI untuk memperoleh persetujuan.
Ketentuan pergantian dalam UU 30/2002 telah diubah dengan UU 1/2015 yang menentukan bahwa pergantian pimpinan KPK sepenuhnya kompetensi presiden tidak lagi melalui persetujuan Komisi III DPRI RI dan bahkan ditegaskan bahwa presiden dapat menunjuk secara langsung calon pengganti pimpinan KPK jika pimpinan KPK tersisa paling banyak 3 (tiga) orang.
Hal ini berbeda dengan pergantian pimpinan KPK dari Firli Bahuri kepada Nawawi Pamolango yang berasal dari komisioner KPK yang bersangkutan sehingga jumlah pimpinan KPK pasca penunjukkan tersebut tetap hanya 4 (empat) orang.
Namun UU KPK tahun 2002 telah diubah dengan UU 19/2019 yang mengembalikan prosedur pergantian pimpinan KPK harus melalui proses persetujuan Komisi III DPR RI sehingga ketentuan yang terdapat pada UU 1/2015 tidak berlaku lagi untuk proses pergantian Firli Bahuri saat ini.
Hal ini sesuai dengan asas lex posteriori derogate lege priori.
Bahkan di dalam Pasal 70B UU 19/2019 dinyatakan secara tegas (expressive verbis) bahwa, ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UU 19/2019 harus dinyatakan tidak berlaku, dan di dalam UU 19/2019 ditegaskn prosedur pergantian pimpinan harus melalui persetujuan Komisi III DPR RI. Tetapi tidak demikian di dalam UU Tahun 2015 justru merupakan wewenang penuh Presiden saja.
Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian secara serta merta dapat disimpulkan bahwa, prosedur pergantian dari Firli Bahuri ke Nawawi Pamolango mutatis mutandis cacat hukum (obscuur) sehingga batal demi hukum.
Implikasi hukum lebih jauh dari proses pergantian pimpinan KPK yang cacat prosedur adalah kinerja KPK dengan asas kolektif-kolegial yaitu bahwa setiap pengambilan Keputusan harus disetujui dan diputuskan secara Bersama-sama oleh Pimpinan KPK [Penjelasan Pasal 21 ayat (5)], untuk menegaskan bahwa, Pimpinan KPK adalah Penanggung Jawab tertinggi KPK [Pasal 21 ayat (6)].
Pimpinan KPK dimaksud dalam UU KPK 2002 adalah, terdiri dari 5 (lima) anggota KPK [Pasal 21 ayat (1) huruf a. berdasarkan ketentuan-ketentuan UU KPK 2002 tersebut dapat disimpulkan bahwa, Keputusan Presiden tentang Pergantian Pimpinan KPK dari Firli Bahuri kepada Nawawi Pamolango adalah batal demi hukum karena SK Presiden tersebut melanggar UU KPK dan bahkan SK presiden telah mempergunakan landasan hukum (Perppu 1/2015) pergantian pimpinan KPK , yang telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 70 B UU 19/2019 tentang Perubahan UU 30/2002.
Merujuk pada uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa, presiden harus mematuhi ketentuan UU dan mencabut kembali Keppres 116/P Tahun 2023 tentang Pemberhentian Sementara Ketua Merangkap Anggota KPK Masa Jabatan Tahun 2019-2024 dan Pengangkatan Ketua Sementara KPK Masa Jabatan Tahun 2019-2024, dan menggantinya dengan Keppres baru sesuai dengan prosedur pergantian pimpinan KPK karena terjadi kekosongan pimpinan KPK sesuai UU KPK Tahun 2019.
Saran berikut adalah, pengajuan hak uji materiel kepada MA dengan alasan Keppres bertentangan dengan UU KPK 2019.
Penulis adalah Gurubesar Hukum Universitas Padjadjaran.