DEBAT kayaknya memang ajang adu kata kata, adu persilatan lidah. Siapa yang lidahnya paling lemes, gampang bikin janji, gampang cari alasan. Pasti akan memenangkan sebuah debat. Teori A, teori B, teori C, diaduk jadi satu, bisa tampak pintar saat debat.
Banyak kawan saya jago debat. Tapi tidak semua yanv jago debat ini, saat ditugasi mengorganisir pekerjaan kecil saja gak sanggup. Jadi tidak ada kaitan antara jago debat dengan kemampuan mengejakan sesuatu.
Debat dalam memilih pemimpin kayaknya memang tradisi barat, diadopsi sekedarnya dalam politik demokrasi liberal Indonesia. Dalam kebanyakan masyarakat Indonesia kalau ketemu pendebat ngeyel, ya ngalah aja. Apalagi sudah salah tapi ngeyel, paling disenyumin aja.
Pemenang debat dalam ajang semacam ini belum tentu juga akan menyenangkan hati masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin gak ngerti apa yang diperdebatkan. Mengapa soal soal semacam itu diperdebatkan. Mengapa tidak dimusyawarahkan saja, supaya menjadi kata mufakat, bahwa masalah yang dibicarakan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Jadi ada solusi.
Lagipula kalau tiga pasangan begini bagaimana mau debat? Kalau debat yang seru dua orang, salih menyalahkan dan menjatuhkan. Nah ini agak seru. Kalau tiga orang apalagi 6 orang debat , itu namanya awut awutan atau amburadul, gak akan ketemu juntrungan dan tidak akan ada pemenang.
Kalau mau mengapa KPU tidak mengadakan cerdas cermat saja. Jadi kalau cerdas cermat maka akan diketahui siapa diantara 3 pasangan ini yang jawabannya banyak benar. Dan itulah juaranya. Kalau cerdas cermat masyarakat yang menonton akan bertambah ilmunya.